Minggu, 11 Mei 2008

MEMPERKECIL KESENJANGAN DUNIA PENDIDIKAN

Oleh : Drs. Samsul Munir. M.A



Diakui atau tidak masalah pendidikan menjadi issue yang tidak aka pernah basi dibicarakan. Memang secara kuanitatif perkembangan pendidikan di negeri kita sudah mencapai kemajuan yang sangat berarti. Jumlah perguruan Tinggi misalnya, tercatat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Baik Perguruan Tinggi yang beratap di Depdiknas maupun di Depag, perkembangannya menunjukkan grafik yang semakin meningkat. Bahkan hampir di tiap Kabupaten/kota telah berdiri institusi PT. Akan tetapi, kita masih dapat mempertanyakan apakah kuantitas yang meningkat ini diimbangi dengan kualitas yang memadai?
Dalam hal kualitas belum tuntas, dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan kepada realitas kesenjagan warga terdidik. Masalah yang terakhir ini menjadi lebih kompleks karena menyangkut dua dimensi, yakni dimensi kuantitatf, dan dimensi kualitatif. Kesenjangan kuantitatif berarti bahwa jumlah warga terdidik belum proporsional mewakili strata social-ekonomi dari semua golongan masyarakat. Adapun kesenjangan kualitatif berarti kualitas pendidikan di daerah terpencil dan pedesaan jauh berbeda dengan kualitas pendidikan di wilayah perkotaan. (Abdurahman Mas’ud, Ph.D, Prof. 2003) Terjadinya kesenjangan dalam bidang pendidikan ini, menunjukkan belum meratanya penanganan pendidikan bagi semua warga Negara.
Masalah-masalah tersebut terlihat semakin mengerucut, manakala kita melihat realitas bahwa biaya pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi – baik negeri (PTN) maupun swasta (PTS) – dirasakan oleh masyarakat semakin mahal, sementara secara nasional mutu PTN maupun PTS belum semuanya menjanjikan. Ditambah lagi sarana dan fasilitas yang pas-pasan atau bahkan kurang mendukung.

Ada Kesenjangan
Memang kita tidak bisa menafikan berbagai keberhasilan yang telah dicapai dalam dunia pendidikan kita. Pada tahun 1984, dicanangkan wajib belajar enam tahun, yang mencapai angka partisipasi 96,2%. Pada tahun 1994, diteruskan dengan dicanangkannya wajib belajar sembilan tahun, kenaikan anggaran pendidikan yang semakin meningkat – walaupun Pemerintah belum bersedia menaikkan anggaran 20 % untuk pendidikan – serta berbagai kebijakan pendidikan lainnya. Akan tetapi walau demikian, masih ada persoalan besar dalam masalah pendidikan yaitu kesenjangan pendidikan.
Dampak dari persoalan krisis yang menghimpit negera ini sejak lengsernya penguasa Ode Baru, dengan berbagai persoalan krisis : krisis ekonomi, krisis moralitas, menumpuknya masalah korupsi, krisis politik, krisis nasionalisme, munculnya disintegrasi bangsa, sparatisme dan lain-lain, mengakibatkan kelompok yang termasuk hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat. Tidak bisa dipungkiri hal ini menyebabkan merosotnya tingkat pendidikan. Khususnya dalam masalah ekonomi, menjadikan persoalan pendidikan dan ekonomi menjadi bagaikan buah pinang dibelah menjadi dua.
Oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah, pendidikan masih menjadi sesuatu yang “wah” dan “elit” dan menjadi perioritas terbawah di bawah kebutuhan yang lain seperti: pangan, sandang, dan perumahan. Bisa dijamin masyarakat akan lebih suka membeli kaset CD berisi lagu-lagu hiburan daripada membeli buku yang pada dasarnya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan. Walaupun sekarang banyak dana diperuntukkan bagi dunia pendidikan seperti BOS, maupun yang lainnya, akan tetapi bukannya berarti pendidikan menjadi gratis total, atau pendidikan murah. Pendidikan masih saja dirasa “mahal” bag masyarakat kelas bawah. Ternyata masih ada pungutan-pungutan lain untuk mengganti istilah SPP atau BP3. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan transportasi anak-anak ke sekolah tiap hari, dan pengeluaran-pengeluaran yang lain. Ditambah lagi harga-harga kebutuhan semakin naik dan tidak terjangkau masyarakat kelas bawah.
Maka jelas, bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, terutama di pedesaan, pendidikan akan menjadi ditangguhkan perioritasnya dari kebutuhan lain, seperti : pangan, sandang, dan perumahan. Dapat disimpulkan bahwa partisipasi pendidikan anggota suatu rumah tangga sangat tergantung pada situasi dan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang bersangkutan.
Menurut catatan UNESCO, anak-anak putus sekolah lebih banyak terjadi pada sekolah-sekolah di desa daripada sekolah-sekolah di kota. Penyebab utamanya adalah kemiskinan atau ketidakmampuan orang tua membiayai anak-anak (A. Chaedar AlWasilah, MA, Ph.D, 1997)
Realitas ini menunjukkan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan akan berkurang dengan naiknya pendapatan. Pada umumnya, pada masyarakat berpenghasilan rendah, proporsi yang besar dari pendapatannya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sebaliknya, pada masyarakat kaya, pengeluaran cukup besar justru digunakan untuk pakaian, perumahan, rekreasi, dan jasa-jasa lain (termasuk pendidikan).
Maka jika kita mencermati keadaan golongan berpenghasilan rendah yang “tidak berdaya” menikmati tingkat pendidikan yang lebih baik, maka soal pemerataan tarasa menjadi kian urgen. Penyebab rendahnya tingkat pendapatan masyarakat adalah rendahnya tingkat pendidikan mereka. Padahal berbagai teori menunjukkan bahwa pendidikan sesunguhnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia diakui atau tidak menjadi pemicu kemajuan di segala sektor.
Maka adalah menjadi suatu keharusan bagi pemerintah dan para pemegang kebijakan di negeri ini untuk mempersempit adanya jurang perbedaan dalam pendidikan bagi masyarakat. Prinsip pendidikan untuk semua (education for all) bagi masyarakat di negeri ini kiranya menjadi realitas yang harus diwujudkan bersama. Bukan hanya sekedar slogan. Dengan demikian pendidikan nasional dituntut untuk bisa dirasakan manfaatnya ke seluruh komunitas bangsa, semua lapisan masyarakat : baik yang di kolong jembatan, di pedesaan maupun di perkotaan, baik secara geografis maupun secara strata social.

Memperkecil Kesenjangan
Memang mengurai kesenjangan pendidikan bukanlah persoalan yang mudah diselesaikan. Persoalan kesenjangan pendidikan memiliki multidimensi yang berkelindan dengan banyak aspek, di luar masalah pendidikan itu sendiri. Masalah ekonomi misalnya, bidang ini cukup dominan memegang peranan. Karenanya pemenuhan anggaran pendidikan 20 % seharusnya menjadi keniscayaan yang tidak usah ditunda-tunda. Persoalan-persoalan di seputar kesenjangan pendidikan memang sangat kompleks. Antara lain kesenjangan antara negeri dan swasta. Misalnya antara PTN dan PTS. Selama ini sejak masa kemerdekaan 1945 kucuran anggaran dari pemerintah selalu mengarah kepada PTN baik untuk sarana dan fasilitas maupun untuk sumber daya manusia karena memang PNS. Maka saat ini menurut hemat peulis, paradigmanya harus dirubah dari PTN diganti menuju ke PTS. Hal ini logis mengingat selama ini secara umum PTS tidak pernah memperoleh perolehan dana secara signifikan. PTS selalu mandiri dari berbagai sisi. Padahal mereka ikut andil yang sangat besar dalam mencerdaskan bangsa. Mengapa mereka menjadi asing di negerinya sendiri? Demikian pula Sekolah-sekolah di tingkatan ke bawah antara negeri dan swasta, seperti : SMA, SMP, SD, dari paradigma prioritas negeri menjadi paradigma perioritas ke swasta. Bukankah saat ini sudah tidak ada perbeadaan antara Negeri dan Swasta karena sama-sama mengikuti standadisasi Badan Akreditasi Nasional?
Disamping itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai untuk semua wilayah dan jenjang merupakan sesuatu yang harus direalisasikan. Banyak beberapa gedung sekolah khususnya di pedesaan yang jauh dari pusat-pusat kota tidak layak pakai karena rusak dan gedung sekolah yang membahayakan. Demikian pula sarana yang lain seperti laboratorium, (bahasa, maupun computer, dll) perlu direalisasikan oleh pemerintah.
Perimbangan-perimbangan ini penting, agar tidak terjadi kesenjangan dalam bidang pendidikan, agar masyarakat menikmati pendidikan seluas-luasnya. Juga agar masyarakat luas bisa menikmati selayak-layaknya masalah pendidikan. Agar tidak ada yang merasa dianakemaskan, dan tidak ada yang merasa dianaktirikan. Pemerintah hendaknya memberlakukan sama terhadap semua warga Negara. Bukankah demikian yang diamanatkan oleh para founding father negeri ini?

Drs. Samsul Munir, MA, adalah Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo.

Tidak ada komentar: