Minggu, 11 Mei 2008

PARADIGMA PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN TINGGI

Oleh : Drs. Samsul Munir, M.A.



Saat ini percaturan pasar global telah berjalan. Untuk mampu bersaing dalam percaturan global, bangsa Indonesia dituntut untuk menggeser tumpuan dari pemanfaatan buruh murah dan sumber daya alam mentah, menjadi kemampuan memproduksi produk berkualitas baik dalam proses sumber daya alam maupun proses industri yang bertumpu pada SDM yang berkualitas dengan didukung berkemampuan teknologi.
Benar, saat ini Indonesia banyak mengeksport Tenaga Kerja Indonesia (TKI), akan tetapi umumnya mereka adalah SDM yang kurang memiliki skill, sehingga kurang memiliki daya saing dalam negeri. Bahkan para TKI – khususnya TKW banyak menuai masalah di Negara-negara tujuan misalnya di Saudi Arabia, Hongkong bahkan yang sangat parah berbagai kasus dari Negara jiran Malaysia. Hal ini dikarenakan para TKI tingkat pendidikan dan keahliannya kurang memadai. Kita juga menyadari bahwa populasi sarjana ilmu-ilmu sosial jauh lebih besar dibandingkan populasi sarjana ilmu-ilmu eksakta dan teknologi.
Untuk mengatasi masalah ketimpangan populasi lulusan ilmu-ilmu social, dan eksakta dan teknologi, bisa dilakukan dengan melipatgandakan populasi mahasiswa jurusan eksakta dan teknologi khususnya di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Akan tetapi hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, juga proses ini tidak dapat disulap sebagaimana membalikkan telapak tangan. Gagasan link and match sejauh tertentu sebenarnya menawarkan alternative pendayagunaan lulusan pergurua tinggi. Agar dalam kndisi perguruan tinggi sekarang ini dan dalam memasuki era industrialisasi, mereka mampu bersaing dengan ekannya para sarjana eksakta dan teknlogi dalam memperebutkan kesempatan kerja. Diharapkan, bahwa para lulusan Perguruan Tinggi kita sebagai DM unggul, akan segera memberikan konstribusi nyata bagi negeri ini.
Sudah seharusnyalah bagi institusi Perguruan Tinggi (PT) untuk melakukan reformasi agar para lulusan yang dihasilkannya mampu menciptakan lapangan kerja, bkan sebaliknya malah menambah panjangnya barisan sarjana pengangguran.
Dalam sejarah pembangunan Dunia Ketiga, reformasi sosial – termasuk pendidikan tinggi sebagai institusi sosial, adalah bagian tak terpisahkan dari modernisasi,. Pembangunan merujuk pada proses konvergensi tatanan sosial yang disebabkan sedikitnya oleh tiga hal: (1) perubahan menuju masyarakat urban (perkotaan), (2) perubahan agrais menju industrial, (3) membengkaknya populasi, (4) pembagian tenaga kerja semakin berdasarkan spesialisasi, dan (5) pengetahuan dan teknologi yang semakin luas dan kompleks. (A. Chaidar Alwasliyah, 1997) Kelima hal di atas merupakan fenomena pada masyarakat Indonesia sekarang ini yang harus dhadapi oleh lembaga pendidikan tinggi.

Perlu Paradigma Baru
Munculnya permasalahan-permasalahan sosial dalam masyarakat dewasa ini menuntut adanya paradigma baru dalam menata dunia pendidikan tinggi untuk merespon permasalahan-permasalahan tersebut. Paradigama baru tersebut bisa dengan reformasi dalam masalah pendidikan tinggi. Reformasi biasanya dikontraskan dengan revolusi. Yang disebut terakhir berimplikasi adanya perubahan besar, restrukturisasi lembaga keseluruhan, dan seringkali dengan modus illegal atau kekerasan. Sedangkan reformasi mengandung arti perubahan yang relatif kecil, dengan metode-metode yang legal. Kedua jenis perubahan ini mncul karena struktur yang ada tidak reseptif terhadap kebutuhan masyarakat. Dan perubahan itu sendiri menawarkan alternative demi perbaikan masyarakat.
Namun, reformasi pendidikan tidak akan terjadi kecuali syarat dipenuhinya hal ini, yaitu masyarakat meyakini (1) adanya suatu yang salah dalam pendidikan, dan (2) alternatif yang ditawarkan akan mampu memperbaiki keadaan yang ada. Adalah merupakan hukum alam, bahwa setiap reformasi selalu dihadapkan dengan resistensi akan reformasi itu sendiri. Dan resistensi ini akan muncul terutama jika syarat di atas tidak dipenuhi, yakni tidak mendapat respon masyarakat.
Yang diperlukan sekarang ini untuk menghadapi kenyataan sosial dalam dunia pendidikan tinggi adalah bukan revolusi. Skema nilai-nilai kultural bangsa dan tujuan pendidikan yang telah tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen perlu disosialisasikan dan diterapkan agar membawa kebaikan bagi semuanya. Tidak malah memberikan keuntungan di satu pihak sementara harus merugikan pihak-pihak lain.
Paradigma baru dalam sistem pendidikan tinggi ini bertujuan untuk mengimplementaskan nilai-nilai kultural dan tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai.

Menata Sistem
Dalam menata paradigma Perguruan Tinggi, baik PTN maupun PTS, tujuan utamanya adalah meningkatkan mutu pengetahuan para lulusannya. Dalam hal ini pendidikan tinggi tentu tidak bisa dipisahkan dari para lulusan SMTA sebagai in put mahasiswanya. Tentu kualitas siswa SMTA dan sederajat menjadi sangat berarti bagi peningkatan mutu bagi PT yang dimasukinya. Jika mutu SMTA baik, maka secara berkesinambungan akan mendongkrak mutu PT juga, demikian pula sebaliknya.
PT dalam hal ini telah memiliki kurikulum yang fleksible karena telah diberi wewenang untuk membuat kurikulum lokal sesuai kebutuhan otonomi PT. Tentu tidak sembarang kurikulum dimasukkan, ia membutuhkan berbagai kajian serius untuk menentukan apakah sebuah mata kuliah sesuai dengan kurikulum lokal dibutuhkan mahasiswa suatu PT. Masing-masing PT memiliki ciri khusus yang berbeda, karena justru di sinilah letak spesialisasi masing-masing PT. Misalnya ITB Bandung spesialisasi dengan keteknikan, UNSIQ Wonosobo spesialisasi dengan kealqur’anannya, dan masing-masing PT memiliki spesialisasi tersendiri.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini Dirjen Dikti Diknas, dan Dirjen Diktis Depag, maka sudah saatnya pemerintah memperhatikan keberadaan PT Swasta secara proporsional, mengingat Perguruan Tinggi Swasta (PTS) jumlahnya lebih banyak dibandingkan PTN, dan selama ini belum semua PTS mendapat perhatian secara proporsional. Para dosen swasta sudah saatnya mendapat perhatian pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang Undang Guru dan Dosen yang pada akhirnya tidak ada perbedaan antara dosen negeri dan swasta karena standard kualitas dosen ukurannya sama yaitu angka kredit dosen secara berjenjang yang dikeluarkan oleh Diknas maupun Depag melalui Kopertis dan Kopertais di wilayah masing-masing, dan untuk Gologan IV ke atas langsung ke Depdiknas pusat dan Depag pusat. Dimana baik dosen negeri maupun swasta sama saja pengkriteriaannya.
Mengenai kualitas akademik, standarisasi penilaiannya adalah akreditasi yang sudah berjalan selama ini. Badan Akreditas Nasional (BAN) PT sudah melakukan upaya maksimal yang cukup baik, walaupun masih tetap perlu peningkatan agar standardisasi ini tidak hanya untuk standardisasi nasional saja, melainkan untuk kemudian tingkat internasional. Dalam kaitannya dengan standardisasi internasional, memang dunia pendidikan tinggi kita masih memprihatinkan. Hanya beberapa PTN di Indonesia yang masuk dalam peringkat internasional, dan itu pun dalam peringkat nomor-nomor sepatu.
Sampai saat ini disinyalir banyak PT yang kekurangan mahasiswa, bahkan beberapa PT ada beberapa di antaranya yang dinyatakan “sakit” karena kekurangan mahasiswa. Tentu ini memprihatinkan bagi para duna pendidikan kita. Boleh jadi ini diakibatkan karena jumlah PT yang terlampau banyak di hampir setiap kota/kabupaten ada, sementara tidak semua PT bisa layak disebut PT, baik dari sisi kagiatan akademik, sarana prasarana, maupun jumlah mahasiswa. Bahkan ada PT yang “konon” hanya menempati gedun SD dengan fasilitas yang tentu saja di bawah standard.
Banyak hal yang harus ditata sedemikian rupa untuk manata pendidikan tinggi kita agar PT benar-benar memberikan konstribusi yang signfikan terhadap masyarakat, agar PT bisa mencetak lulusannya siap kerja, bukan sekedar mencetak sarjana pengangguran.

Drs. Samsul Munir, M.A, dekan Fakultas Dakwah & Komunikasi UNSIQ Wonosobo, alumni Higher Education Leadership and Management Course McGill University Montreal Canada.

Tidak ada komentar: